Cerita Rakyat: Asal Usul Desa Tuyuhan
Sahabat, para tulisan sebelumnya, saya telah menulis asal usul desa Tuyuhan dalam bahasa Jawa. Cerita rakyat dalam tulisan bahasa Jawa, sengaja saya tulis untuk memudahkan para pengajar pelajaran Bahasa Jawa dalam menambah literatur cerita dari Kabupaten Rembang.
Kali ini, saya mencoba menghadirkan kembali cerita tersebut dalam bahasa Indonesia untuk dapat dibaca dan dipahami oleh semua orang khusunya warga Indonesia. Cerita ini saya dapat ketika saya mendapat tugas kuliah, wawancara tentang asal usul sebuah tempat. Saat itu, saya menemui Bapak Muhammad Arifin sebagai pelaku sejarah desa Tuyuhan. Saat tulisan ini dimuat ulang, bapak Muhammad Arifin, sudah meninggal dunia. Semoga terang kuburnya. Aamin.
cerita rakyat Asal Usul Desa Tuyuhan, dapat sahabat baca di bawah. Semoga bermanfaat.
Asal Usul Desa Tuyuhan
Tuyuhan merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Pancur Kabupaten Rembang
Jawa Tengah. Pada tahun 1734, Seorang alim ulama’ yang bernama Simbah Djumali melakukan sebuah perjalanan syiar agama Islam. Simbah Djumali adalah
putra
Simbah Abdul ‘Alim. Beliau mendapatkan perintah dari kakeknya yaitu
Sayyid Abdurrohman (Eyang Sambu Lasem), supaya dakwah syiar
agama Islam di daerah selatan Lasem. Setelah memohon restu kepada kedua orangtua
dan Eyang Sambu,
Simbah Djumali dengan didampingi dua orang
santri,
berjalan ke arah selatan Lasem sebagaimana titah dari
kakeknya. Perjalanan melewati berbagai tempat dan berbagai suasana. Seiring berkembangnya zaman, daerah yang dilewati Simbah Djumali
sekarang dikenal dengan nama desa Karangmaling, Muragan, lan Karanglo.
Perjalanan
dakwah
Simbah Djumali terus berlangsung. Hingga suatu ketika menjelang
maghrib, Beliau dan santrinya menghentikan langkahnya di sebuah hutan yang lebat di tepi sungai. Di tempat tersebut Beliau sejenak melepas lelah dan melaksanakan salat
Maghrib.
Sebab waktu yang
sudah malam dan tidak memungkinkan lagi melanjutkan perjalanan, Simbah Djumali dan santrinya memutuskan untuk bermalam dan istirahat di
tempat tersebut.
Dikarenakan tempat tersebut dirasa tempat yang baik
untuk mendirikan pondok dan syiar agama, Simbah Djumali bermukim di sana. Untuk
diketahui, pondok yang didirikan Simbah Djumali berada di tepi sungai dan
berada dalam kawasan hutan yang sangat angker.
Setelah pondok selesai dibangun, Simbah Djumali mulai membabar ilmu agama kepada
murid-muridnya. Mengetahui
bahwasanya di tepi
sungai hutan ada alim
ulama’ dari Lasem yang
sedang
mengajarkan ilmu agama dan juga dikenal seorang yang sakti
mandraguna, berduyun-duyunlah orang-orang dari berbagai daerah
untuk belajar agama.
Sambil belajar
ilmu agama,
orang-orang dari berbagai daerah tersebut juga
mendirikan rumah di dekat pondoknya Simbah Djumali supaya mudah dalam belajar dan melangsungkan kehidupan di sana. Simbah
Djumali juga membangun masjid sebagai
sarana beribadah lan mengajarkan ilmu
agama kepada para santri. Meskipun
sudah berdiri sebuah pondok dengan santri yang cukup banyak, tempat tersebut
masih tergolong angker. Setiap
malam ketika Simbah
Djumali akan dakwah mengajarkan ilmu
agama kepada santri, bangsa lelembut sering mengganggu putra Beliau
dan para santri. Mangetahui keadaan tersebut, Simbah Djumali pun mengetahui akan pusat kerajaan lelembut yaitu di sebrang
sungai.
![]() |
Batu yang biasa disebut "Kali Lawang" |
Untuk menangkal gangguan tersebut, Beliau setiap hendak wudhu melaksanakan
salat wajib, mengambil air wudhu di tepi sungai seraya berdoa agar gangguan
segera hilang. Di tepi sungai itu pula, Beliau buang hajat lan air kecil (nguyuh), pada sebuah batu
atau dalam bahasa Jawa puthuk. Selanjutnya, dari kata
“Watu” dan “Nguyuh/uyuh”, tempat tersebut diberi nama desa Tuyuhan. Tuyuhan dari kata
‘Tu” lan “Yuhan”. ‘Tu’ artinya batu
yang disebut tempat bagi
Simbah Djumali untuk “Turas/Nguyuh”. Dengan
karomah Simbah Djumali dan atas kehendak
Allah Swt.,
bangsa lelembut
sudah tidak lagi menganggu putra dan santri-santrinya.
Pada suatu masa, kondisi masyarakat desa Tuyuhan dalam
kemiskinan.
Mencari pekerjaan sulit. Apalagi untuk mencukupi
kebutuhan hidup setiap hari dan keluarga. Mengetahui
kondisi masyarakat Tuyuhan seperti itu, Simbah Djumali menyarankan para warga supaya berdagang. Simbah Djumali memberikan
ide kepada warga supaya berjualan
lontong. Lontongnya terbuat dari beras dengan
bentuk lontong mengerucut membentuk
segitiga. Bentuk seperti ini kebanyakan orang sulit untuk
membuatnya. Kebanyakan orang-orang lebih suka membuat lontong dengan bentuk
lonjong.
![]() |
Lontong Tuyuhan |
Berdasarkan
cerita
dari (Alm.) Bapak Muhammad Arifin, setiap
pucuk dari lontong ini mengandung
makna dan filosofi yang tinggi. sedangkan kuahnya
terbuat dari campuran rempah-rempah dan parutan santan
kelapa. Ayamnya menggunakan ayam kampung. Dari berjualan lontong
inilah juga disebut
dalam bahasa arab afro’ul ayyam. Orang-orang pada zaman dahulu mengambil air untuk
membuat kuahnya dari tepi sungai yang masyarakat menyebutnya “kali lawang”.
Beliau menuturkan, jika kuah lontong Tuyuhan dicampur dengan air dari “kali
lawang”, maka akan menciptakan rasa yang khas.
Diantara karomah
yang dimiliki oleh Simbah Djumali. Suatu ketika, terjadi kebakaran besar sebuah
pondok pesantren di daerah Banten. Simbah Djumali mengajak semua santri menuju
sungai. Di sana, semua santri diinstruksikan agar menyiram-nyiram air ke arah
barat. Para santri terbengong karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya
sedang terjadi. Saat itu, sedang musim kemarau. Para santri pun mengikuti apa
yang diinstruksikan oleh Simbah Djumali. Baru beberapa hari, semua santri
mengetahui bahwasanya di daerah Banten, ada pondok pesantren yang sedang
terbakar. Saat mereka menyiram-nyiram air, atas karomah yang dimiliki Simbah
Djumali, di Banten turunlah hujan yang sangat lebat. Akhirnya, pondok pun dapat
terselamatkan meski beberapa bangunan dalam skala kecil ada yang terbakar. Allahu a’lam.
Post a Comment for "Cerita Rakyat: Asal Usul Desa Tuyuhan"