Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Masjid Tiban 'Nurul Huda' Gedongmulyo Lasem

            

Masjid Tiban Nurul Huda

    Masjid Tiban "Nurul Huda" terletak di Dukuh Pabean, Desa Gedongmulyo, Kecamatan Lasem, tepatnya di sebelah barat sungai Bagan. Letak masjid ini berseberangan dengan bangunan Lawang Ombo, sebenarnya saling berhadap-hadapan, namun terpisah oleh aliran sungai.

Masjid Tiban "Nurul Huda" merupakan masjid yang bangunan arsitekturnya masih bernuansa kuno. Hampir di setiap dindingnya dihiasi dengan keramik kuno. Ketika kita masuk di masjid ini, kita akan melihat sumur yang berada di sisi kanan masjid. Sumur ini merupakan sumur kuno yang sekarang masih digunakan sebagai tempat wudhu di masjid ini. Cara mengambil airnyapun masih menggunakan cara manual dengan cara menimba menggunakan katrol. Banyak juga masyarakat yang percaya bahwa air dari sumur ini bisa menyembuhkan penyakit. Ada juga masyarakat yang menggunakan air sumur ini sebagai sarana bersumpah. Peninggalan lain dari masjid ini adalah bedug yang sekarang di pindah ke Masjid Jami' Lasem.

Di belakang Masjid Tiban ini ada Makam dari Mbah Kamplok, sedangkan di depan masjid sedang dibuat seperti taman yang sampai sekarang masih dalam proses pembangunan. Meskipun sudah bebarapa kali direnovasi, bangunan yang asli dari masjid ini masih bisa dilihat sampai sekarang.

Ada beberapa pendapat mengenai proses terbentuknya Masjid Tiban ini. Menurut Pak Danang Swastika yang merupakan sejarawan di daerah ini mengatakan bahwa dahulu kawasan Masjid Tiban "Nurul Huda" ini adalah Pabean atau Bea Cukai Sabandar. Di depan Masjid Tiban "Nurul Huda" ini merupakan pintu gerbang masuknya kapal-kapal dagang yang berasal dari berbagai daerah salah satunya berasal dari Tiongkok. Sungai di depan masjid ini dulunya lebar, jadi kapal dagang itu berlayar dari laut masuk ke sungai dan lurus terus kemudian belok kiri sampai kemendung. Bandar-bandar dagang ini menurunkan dagangannya di sini. Jadi, pada saat itu di selatan alun-alun Lasem merupakan pasar kuno yang wilayahnya dari Kemendung sisi timur sampai ke utara.

Pada saat itu banyak bandar kapal yang beragama muslim, ketika waktu beribadah tiba mereka kesulitan mencari musholla atau masjid untuk beribadah. Akhirnya tokoh Lasem yang berkedudukan di Pabean berfikir supaya sarana dan prasarana untuk beribadah terpenuhi, agar orang Islam yang datang ke Pabean bisa sholat. Pada saat itu ada musholla kuno yang berada di Taman Sitaresmi, Caruban. Akhirnya, musholla tersebut digotong ke pinggir sungai. Para pedagangpun bingung, yang awalnya ketika mereka melewati sungai tersebut tidak ada mushola tetapi secara tiba-tiba ada musholla. Sejak itulah para pedagang itu menyebut masjid itu sebagai masjid Tiban. Ada juga yang mengaitkan dulu di pinggir Kali Bagan, warga terbiasa minum candu atau minuman keras. Harapannya, begitu ada Masjid, bisa menekan kebiasaan menenggak candu.

Sedangkan menurut Pak Abdul Muhaimin yang merupakan ta'mir di Masjid Tiban "Nurul Huda" mengatakan bahwa peristiwa terjadinya masjid Tiban ini terjadi pada masa wali. Jadi tokoh yang bersangkutan dengan peristiwa ini adalah wali. Salah satunya adalah Sunan Ampel. Sunan Ampel mempunyai 3 anak. Anaknya bernama Siti Chafsah atau yang biasa disebut dengan Nyai Ageng Maloka, Nyai Ageng Manila yang merupakan istri dari Sunan Kalijaga, dan Raden Maulana Makdum Ibrahim atau yang biasa disebut dengan Sunan Bonang.

Nyai Ageng Maloka mempunyai Saudara yang bernama Sunan Langgar. Beliau tinggal di Langgar, Sluke. Suatu hari Nyai Ageng Maloka berkunjung ke rumahnya Sunan Langgar. Di sana Nyai Ageng Maloka melihat bangunan masjid yang telah dibuat oleh Sunan Langgar. Bangunan masjid tersebut tampak sangat indah. Di sana Nyai Ageng Maloka juga melihat wanita cantik yang merupakan abdi dalem atau pembantu dari Sunan Langgar. Akhirnya Nyai Ageng Maloka ingin memiliki masjid dan abdi dalem tersebut.

Kemudian Nyai Ageng Maloka berbicara kepada Sunan Langgar bahwa beliau ingin meminta 4 x 5 meter bangunan masjid dan Abdi Dalem tersebut. Maksud dari Nyai Ageng Maloka meminta masjid itu adalah supaya beliau bisa mengajarkan agama Islam di daerahnya yaitu di Caruban, dan beliau meminta abdi dalem itu supaya ada yang membantunya dalam menyebarkan agama Islam di sana. Nyai Ageng Maloka bilang kepada Sunan Langgar supaya bisa ikhlas jika bangunan dan abdi dalem-nya diminta.

Sunan Langgar merasa bingung karena kepunyaan yang sangat penting baginya diminta oleh Nyai Ageng Maloka. Akhirnya Sunan Langgar mencoba untuk ikhlas dan beliau menyetujui kalau 4 x 5 meter bangunan masjid dan abdi dalem-nya diminta oleh Nyai Ageng Maloka. Sunan Langgar meminta kepada Nyai Ageng Maloka agar menyiapkan tempat seluas 4 x 5 meter untuk meletakkan masjid tersebut di tempatnya yaitu di Caruban. Meskipun Sunan Langgar menyetujuinya tetapi di hatinya masih ada rasa tidak ikhlas.

Dengan berat hati akhirnya Sunan Langgar mengizinkan Nyai Ageng Maloka membawa 4 x 5 meter masjid dan abdi dalem-nya. Kemudian Nyai Ageng Maloka memindahkan masjid itu, dengan kekuatan batin dan atas kehendak Allah swt. Masjid itupun bisa melayang bersama dengan abdi dalem yang menempel di salah satu tiang masjid. Tetapi, ketika masjid tersebut dalam perjalanan menuju tempat tujuan, Nyai Ageng Maloka melihat setitik ukir dari Sunan Langgar, yaitu rasa tidak ikhlas jika kepunyaannya diminta oleh Nyai Ageng Maloka.

Akhirnya Nyai Ageng Maloka berniat untuk mengembalikan itu semua ke tempatnya semula yaitu di Langgar dengan cara menyabetkan selendangnya ke arah masjid. Dengan kehendak Allah swt. Nyai Ageng Maloka berharap supaya masjid itu bisa kembali ke tempatnya Sunan Langgar yaitu di Langgar. Tetapi, hal yang tidak disangkapun terjadi. Masjid itu tidak kembali ke Langgar tetapi malah melayang ke arah selatan dan jatuh di pinggir sungai di Pabean.

Masyarakat di sekitar situpun kaget. Sebelumya tidak ada masjid di pinggir kali, tapi ini tiba-tiba ada masjid. Akhirnya masyarakat di sekitar Pabean menyebutnya sebagai Masjid Tiban karena kemunculannya yang secara tiba-tiba.

Sedangkan asal usul nama tempat tersebut bisa disebut Pabean adalah masyarakat yang kaget melihat masjid Tiban itu kemudian mengatakan "ben" yang artinya biarkan. Maksudnya adalah biarkan kalau ada masjid secara tiba-tiba, jangan heran. Sejak itulah tempat tersebut dinamakan Pabean.

Makam Mbah Kamplok

Abdi dalem yang menempel di tiang Masjid Tiban "Nurul Huda" terus menempel di situ karena amat sangat cinta terhadap masjid itu dan tidak mau lepas. Abdi dalem ini sekarang disebut Mbah Kamplok, "kamplok" artinya menempel. Seiring dengan berjalannya waktu, abdi dalem itu akhirnya wafat dan dimakamkan di belakang masjid. Setiap bulan syura, di Masjid Tiban "Nurul Huda" ini selalu diadakan haulnya Mbah Kamplok.

Masjid Tiban "Nurul Huda" ini dulunya dikelilingi oleh pohon-pohon sawo dan ringin. Namun seiring dengan berjalannya waktu masjid ini mengalami perluasan serambi dan sebelah utara masjid, jadi pohon-pohon tersebut ditebang.

Di bagian dalam Masjid, titik tempat imam berdiri sekarang, terdapat batu pasujudan cukup besar seukuran untuk sholat. Di atas batu ada bekas telapak tangan dan kaki. Namun batu itu terpaksa ditutup keramik, karena harus menyesuaikan dengan pemerataan lantai dan juga guna untuk menghindari kemusyrikan. Karena ditakutkan ada sebagian orang ada yang berbuat kemusyrik  dengan menyembah selain Allah swt.

"Sebenarnya, batu pasujudan itu jangan diratakan dengan lantai, karena batu itu termasuk peninggalan sejarah. Untuk urusan kemusyrikan itu tergantung orang yang menggunakannya" ucap Pak Danang Swastika. 

Pak Abdul Muhaimin bercerita tentang sejumlah kejadian aneh atau gaib yang pernah terjadi di Masjid ini. Salah satunya pernah dialami oleh Pak Abdul Muhaimin. "Pada saat saya muda, saya kan jarang tidur di rumah. Saya seringnya tidur di masjid. Suatu hari ketika saya tidur di masjid saya tidak tahu kalau saya telah dipindah tidurnya, yang awalnya saya tidur di masjid tiba-tiba ketika saya bangun saya malah berada di pinggir kali depan masjid" ucap Pak Abdul Muhaimin dengan menggunakan bahasa Jawa.

"Dulu ada petugas BLT yang ngekos di dekat Masjid Tiban. Suatu hari orang itu tidur di dalam masjid. Akhirnya dia teriak-teriak minta tolong karena tahu kalau tidurnya telah dipindah" lanjutnya. Ada mitos bahwa kalau masuk di masjid ini tidak berniat untuk beribadah kepada Allah swt. Maka akan mengalami hal-hal yang aneh.

Seharusnya ketika kita berada di masjid, kita harus menggunakan masjid dengan hal yang baik-baik, karena masjid merupakan tempat suci. Beribadahlah dan berdo'a meminta ampunan kepada Allah swt. Atas segala kesalahan yang pernah kita lakukan. Mintalah berkah atas segala perbuatan yang kita lakukan. Sesungguhnya kita berjalan di cahaya-Nya dan kita juga berlindung di cahaya-Nya. Manusia pasti tidak luput dari dosa maka kita harus memperbaiki diri dan menjadi insan yang lebih baik lagi.

Ditulis oleh So'imah Nafa’ani.

Ahsani Taqwim
Ahsani Taqwim Halo semua, selamat datang di blog saya. Mengenai informasi tentang saya, bisa menghubungi melalui email. Selamat menggali informasi sebanyak-banyaknya. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Post a Comment for "Masjid Tiban 'Nurul Huda' Gedongmulyo Lasem"